Posted by : Mukhlis
Jakarta - Hingga saat ini produk raket bulutangkis buatan Indonesia belum berkembang. Bahkan makin tergerus pesatnya impor raket dari berbagai negara produsen raket seperti China maupun Jepang.
Ketua Umum Asosiasi Industri Olahraga Nasional Indonesia (Asioni) Irwan Suryanto mengatakan industri raket nasional tak mendapat dukungan pemerintah. Beberapa merek raket nasional yang dikembangkan mantan atlet bulutangkis nasional tak mampu berbicara banyak.
"Saya sedih produk raket kita tidak berkembang. Raket yang dibuat lokal masih rendah kualitasnya, harusnya pemerintah bantu untuk pembinaan, jangan dibiarkan," seru Irwan kepada detikFinance, Senin (28/5/2012).
Ia menuturkan di negara-negara seperti China dan Korea, sejelek apapun produk buatan mereka akan tetap dihargai dengan dukungan pemerintah. Dengan demikian secara bertahap kualitasnya akan meningkat dan pasarnya berkembang.
"Permasalahannya industri raket, itu investasinya tinggi, pakai titanium, kalau investasi besar lalu lakunya susah, siapa yang mau investasi," katanya.
Sehingga saat ini produk-produk alat olahraga Indonesia masih dikuasai oleh produk impor, beberapa merek terkenal seperti Nike, Adidas, Yonex, Li-Ning, dan lain masih merajai pasar.
"Ada yang buat di Malang, itu pun masih impor hanya proses pengecatan, tapi lumayan. Soalnya kalau dibuat di sini nggak akan nutup, lebih baik beli langsung daripada produksi," katanya.
Sementara itu Kasubdit Industri Aneka yang kini memegang pengembangan program Direktorat Industri Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian Bambang Kartono mengatakan industri raket di Indonesia saat ini masih tahap di level industri kecil dan menengah (IKM)dengan segmen kelas bawah. Beberapa pabrikan skala kecil tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Menurut Bambang, tak berkembangnya industri raket bulutangkis di dalam negeri, karena kalah bersaing dari sisi merek dengan produk-produk impor yang sudah ternama. Pasarnya yang sempit membuat permintaan raket lokal tak berkembang.
"Kita masih produksi di segmen bawah harganya yang di bawah Rp 100 ribu, atau Rp 200 ribu ke bawah," katanya.
Berbeda dengan raket, produk shuttlecock justru sudah ada yang bisa diandalkan antaralain shuttlecock merek Garuda, khususnya di daerah Tegal, Jawa Tengah.
"Memang kalau untuk raket lebih banyak impor seperti Yonex," katanya.
Kenyataan ini semakin ironi, ketika prestasi bulutangkis Indonesia sedang terpuruk. Sementara China sedang mencapai kejayaanya, dengan merek raket kebanggaannya Li-Ning prestasi mereka terus menanjak.
Raket Li-Ning menjadi fenomenal pada ajang kompetisi bulutangkis dunia Thomas dan Uber Cup 2012 pekan lalu di China. Tim China yang memakai raket kebanggannya, bermerek Li-Ning berhasil menyabet dua piala sekaligus.
Ketua Umum Asosiasi Industri Olahraga Nasional Indonesia (Asioni) Irwan Suryanto mengatakan industri raket nasional tak mendapat dukungan pemerintah. Beberapa merek raket nasional yang dikembangkan mantan atlet bulutangkis nasional tak mampu berbicara banyak.
"Saya sedih produk raket kita tidak berkembang. Raket yang dibuat lokal masih rendah kualitasnya, harusnya pemerintah bantu untuk pembinaan, jangan dibiarkan," seru Irwan kepada detikFinance, Senin (28/5/2012).
Ia menuturkan di negara-negara seperti China dan Korea, sejelek apapun produk buatan mereka akan tetap dihargai dengan dukungan pemerintah. Dengan demikian secara bertahap kualitasnya akan meningkat dan pasarnya berkembang.
"Permasalahannya industri raket, itu investasinya tinggi, pakai titanium, kalau investasi besar lalu lakunya susah, siapa yang mau investasi," katanya.
Sehingga saat ini produk-produk alat olahraga Indonesia masih dikuasai oleh produk impor, beberapa merek terkenal seperti Nike, Adidas, Yonex, Li-Ning, dan lain masih merajai pasar.
"Ada yang buat di Malang, itu pun masih impor hanya proses pengecatan, tapi lumayan. Soalnya kalau dibuat di sini nggak akan nutup, lebih baik beli langsung daripada produksi," katanya.
Sementara itu Kasubdit Industri Aneka yang kini memegang pengembangan program Direktorat Industri Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian Bambang Kartono mengatakan industri raket di Indonesia saat ini masih tahap di level industri kecil dan menengah (IKM)dengan segmen kelas bawah. Beberapa pabrikan skala kecil tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Menurut Bambang, tak berkembangnya industri raket bulutangkis di dalam negeri, karena kalah bersaing dari sisi merek dengan produk-produk impor yang sudah ternama. Pasarnya yang sempit membuat permintaan raket lokal tak berkembang.
"Kita masih produksi di segmen bawah harganya yang di bawah Rp 100 ribu, atau Rp 200 ribu ke bawah," katanya.
Berbeda dengan raket, produk shuttlecock justru sudah ada yang bisa diandalkan antaralain shuttlecock merek Garuda, khususnya di daerah Tegal, Jawa Tengah.
"Memang kalau untuk raket lebih banyak impor seperti Yonex," katanya.
Kenyataan ini semakin ironi, ketika prestasi bulutangkis Indonesia sedang terpuruk. Sementara China sedang mencapai kejayaanya, dengan merek raket kebanggaannya Li-Ning prestasi mereka terus menanjak.
Raket Li-Ning menjadi fenomenal pada ajang kompetisi bulutangkis dunia Thomas dan Uber Cup 2012 pekan lalu di China. Tim China yang memakai raket kebanggannya, bermerek Li-Ning berhasil menyabet dua piala sekaligus.